Jumat, 16 November 2012

Catatan Festival Film Cannes ke-64: Sutradara Perempuan, dari Mesir Hingga ke Cannes


Saya punya janji-temu dengan Ayten Amin, seorang sutradara Mesir. Kami berjanji bertemu sore itu di Village International, Cannes. Saya tidak tahu bagaimana tampangnya. Saya menduga: mungkin seorang pria dengan rambut agak tebal dan wajah kearab-araban. Maka saya amati setiap wajah, sambil mencoba membaca papan nama yang tergantung di leher setiap orang. Di tengah lalu lalang orang-orang yang memenuhi area kecil Les Cinema Du Monde, saya tak kunjung menemukan pria ini. Hampir putus asa ini ketika tak sengaja saya melihat seorang perempuan keluar dari ruang fotokopi di hall Les Cinema Du Monde. Di papan nama yang tergantung di lehernya tertulis: Ayten Amin. Oh, ternyata ia seorang perempuan. Ayten tertawa maklum. Ini bukan yang pertama kalinya, kata Ayten. Orang-orang asing sering menganggap Ayten nama laki-laki.
Ayten adalah sutradara generasi baru di Mesir. Perempuan berumur 31 tahun ini datang ke Cannes untuk mengawali film pendeknya Spring 89 yang diputar di Short Film Corner. Selain itu ia datang untuk mencari dana menyelesaikan film panjangnya yang pertama, 69 Messaha Square.
Berlatar belakang sutradara iklan, Ayten berusaha meyakinkan calon-calon produser yang bertebaran di Cannes untuk mewujudkan 69 Messaha Square. “Mungkin kedengarannya klise, tapi tidak ada produser di Mesir yang tertarik membiayai film saya,” kata Ayten. Padahal 69 Messaha Square memenangkan penghargaan di Cairo Film Connection sebagai proyek terbaik pada Desember 2010 lalu. “Saya harus bicara langsung dengan calon pendonor demi proyek ini,” kata Ayten.
Ayten bukan yang pertama. Menghadapi masalah internal maupun eksternal yang beruntun, banyak sutradara Mesir yang akhirnya sukses menembus pasar internasional.  Di Festival Film Cannes, nama Youssef Chahine adalah sutradara Mesir yang paling menonjol kehadirannya. Setidaknya 7 judul film yang disutradarai Chahine pernah masuk seleksi dalam berbagai program resmi Festival Film Cannes; yaitu Sun Of The Nil (1951), The Sparrow (1973), Adieu Bonaparte (1985), The Sixth Day (1987), Alexandria Again and Forever (1990) Destiny (1997), The Other(1999), dan Alexandria…New York (2004).  Chahine kemudian mendapatkan penghargaan a lifetime achievement award di Cannes Film festival 1997.
Selain The Sparrow, film-film Chahine semuanya mendapat dana dari luar Mesir. “Meskipun kami mencari dana di luar, bukan berarti kami membuat film berdasarkan selera luar juga. Saya membuat film untuk ditonton semua penonton yang ingin menonton,” kata Ayten menyangkal anggapan banyak orang bahwa dana luar berarti selera luar.
Ketidakpastian tersedianya dana untuk membuat film membuat banyak sutradara Mesir bertebaran mencari celah di manapun ada kesempatan. “Kami banyak berharap dengan adanya revolusi Januari lalu, situasi akan berubah, tapi tentu dampak dari revolusi ini tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Jadi untuk sementara, sebagai pembuat film, kami belum bisa terlalu banyak berharap dari siapapun. Kami lakukan apa yang kami bisa dulu,” kata Ayten.
Para Sutradara Perempuan
Sebuah kebetulan, hingga di hari kedua Cannes Film festival berlangsung, sudah ada tiga karya sutradara perempuan di seksi kompetisi utama yang ditayangkan.Sleeping Beauty karya Julia Leigh, We Need To Talk About Kevin karya Lynne Rhymes dan Polisse karya Maiwenn Le Besco.

Sleeping Beauty karya film pertama novelis Australia, Julia Leigh secara mengejutkan, tidak mengecewakan. Sebagai karya pertama, Leigh berani mengeksplorasi dongeng Sleeping Beauty dari sudut erotisme. Sinopsis yang cukup ambisius. Karena itu tidak heran, skenario Sleeping Beauty pernah masuk dalam daftar ‘The Hollywood Black List’ script ditahun 2008, sebagai skenario yang gagal diproduksi.
Julia Leigh mencoba mengangkat Sleeping Beauty dengan premis ‘use your imagination‘. Dengan premis itu, Leigh merasa bisa bermain, mempergunakan sinema sebagai taman eksplorasi. Di sinilah kemudian terlihat bahwa Leigh belum sepenuhnya bisa sepiawai mentornya Jane Campion dalam meramu imajinasi. Meski begitu, bisa dipastikan Leigh akan kembali lagi ke Cannes di tahun-tahun mendatang.
Lynne Ramsay hadir dengan thriller emosional We Need To Talk About Kevin. Film yang dikonstruksi dengan sangat baik ini pastinya akan meremukkan banyak hati para ibu. Ramsay dengan piawai mengekplorasi kondisi psikologis karakter seorang ibu yang punya hubungan sulit dengan anak remajanya yang juga sulit. Perkembangan hubungan seorang ibu dan anaknya memang akan selalu menjadi rahasia waktu. Sejauh ini, We Need To Talk About Kevin menjadi film yang paling banyak dibicarakan dan mendapat tepuk tangan yang meriah dari para kritikus dan wartawan film.
Karya yang cukup mengejutkan lahir dari tangan sutradara sekaligus artis Perancis, Maiwenn. Mantan pasangan Luc Besson ini membuat film berjudul Polisse, tentang satuan polisi unit khusus perlindungan anak di Perancis. Terlihat jelas film ini dipersiapkan dengan matang hingga realita yang ditawarkan nyaris menyamai film dokumenter.  Kekurangan ada di sana sini, tapi sebagai sutradara yang baru membuat tiga film, Maiwenn jelas patut diperhitungkan serius.
Selanjutnya para filmgoers menunggu Hanezu No Tsuki karya Naomi Kawase yang akan melengkapi kwartet sutradara perempuan dalam seksi kompetisi utama memperebutkan Palem Emas. Sepanjang sejarahnya, baru kali inilah Festival Film Cannes menempatkan 4 nama sutradara perempuan dalam seksi kompetisi utama.
Akankah dalam penyelenggaraannya ke-64 ini Cannes memenangkan film dari sutradara perempuan mengikuti jejak Jane Campion yang berhasil membawa pulang Palm D’Or tahun 1993 dengan The Piano?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar